Kaum Mu`tazilah
merupakan sekelompok manusia yang pernah menggemparkan dunia Islam selama lebih
dari 300 tahun akibat fatwa-fatwa mereka yang menghebohkan, selama waktu itu
pula kelompok ini telah menumpahkan ribuan darah kaum muslimin terutama para
ulama Ahlus Sunnah yang bersikukuh dengan
pedoman mereka.
Sejarah munculnya aliran Mu’tazilah oleh para kelompok pemuja aliran Mu’tazilah
tersebut muncul di kota Basrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105
- 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan
dan khalifah Hisyam Bin AbdulMalik.
Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang
bernama Washil bin ‘Atha Al-Makhzumi Al-Ghozzal.
Secara umum,
aliran Mu’tazilah melewati dua fase yang berbeda. Fase
Abbasiyah (100 H - 237 M) dan fase
Bani Buwaihi (334 H).
Generasi pertama mereka hidup di bawah pemerintahan Bani Umayah untuk waktu
yang tidak terlalu lama. Kemudian memenuhi zaman awal Daulah Abbasiyah
dengan aktivitas, gerak, teori, diskusi dan pembelaan terhadap agama, dalam
suasana yang dipenuhi oleh pemikiran baru. Dimulai di Basrah. Kemudian di sini
berdiri cabang sampai ke Baghdad. Orang-orang Mu’tazilah Basrah bersikap
hati-hati dalam menghadapi masalah politik, tetapi kelompok Mu’tazilah Baghdad
justru terlibat jauh dalam politik. Mereka ambil bagian dalam menyulut dan
mengobarkan api inquisisi bahwa “Al Qur’an adalah makhluk”.
Memang pada
awalnya Mu’tazilah menghabiskan waktu sekitar dua abad untuk tidak mendukung
sikap bermazhab, mengutamakan sikap netral dalam pendapat dan tindakan. Konon
ini merupakan salah satu sebab mengapa mereka disebut Mu’tazilah. Mu’tazilah
tidak mengisolir diri dalam menanggapi problematika imamah –sebagai sumber
perpecahan pertama- tetapimengambil sikap tengah dengan mengajukan teori “al
manzilah bainal manzilatain”. Akan tetapi di bawah tekanan Asy’ariah nampaknya
mereka berlindung kepada Bani Buwaihi.
Penamaan
“Mu’tazilah”
Mu’tazilah, secara etimologis bermakna:
orang-orang yang memisahkan diri. Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang
tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang imam di
kalangan tabi’in. Asy-Syihristani berkata: (Suatu hari) datanglah seorang
laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashri seraya berkata: “Wahai imam dalam agama,
telah muncul di zaman kita ini kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar (di
bawah dosa syirik). Dan dosa tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang
dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah kaum Khawarij. Sedangkan
kelompok yang lainnya sangat toleran terhadap pelaku dosa besar (di bawah dosa
syirik), dan dosa tersebut tidak berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam
madzhab mereka, suatu amalan bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak
berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap
kekafiran, mereka adalah Murji’ah umat ini. Bagaimanakah pendapatmu dalam
permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya sebagai prinsip (dalam
beragama)?”
Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak
dalam permasalahan tersebut. Sebelum beliau menjawab, tiba-tiba dengan
lancangnya Washil bin Atha’ berseloroh: “Menurutku pelaku dosa besar bukan
seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia berada pada suatu keadaan
di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir.” Lalu ia berdiri dan
duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya
tersebut kepada murid-murid Hasan Al-Bashri lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri
berkata: “ اِعْتَزَÙ„َ
عَÙ†َّا ÙˆَاصِÙ„ً” “Washil telah
memisahkan diri dari kita”, maka disebutlah dia dan para pengikutnya dengan
sebutan Mu’tazilah. Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh Al-Hasan Al-Bashri
dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah: “Sesungguhnya pelaku dosa besar (di
bawah dosa syirik) adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya. Karena
keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia disebut fasiq
(dan keimanannya pun menjadi tidak sempurna).”
Versi lain dikemukakan oleh
Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Wasil dan temannya,Amr bin Ubaid bin Bab,
diusir oleh Hasan Al Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian
diantara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar.Keduanya
menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa
besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini
dinamakanMu’tazilah.
Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah
yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada
suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang
disangkanya adalah majlis Hasan Al Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis
tersebut bukan majelis Hasan Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat
sambil berkata,“ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan
Mu’tazilah.Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan
Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkan dengan peristiwa antara Washil dan Hasan Al
Basri. Mereka diberi nama Mu’tazilah, katanya, karena berpendapat bahwa orang
yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat
diantara kafir dan mukmin (al-manzilah bain al-manzilatain).
Gerakan
Kaum Mu`tazilah
a.
Di Basrah (Iraq) yang dipimpin oleh Washil Ibn Atha` dan Amr Ibn Ubaid dengan
murid-muridnya, yaitu Ustman bin Ath Thawil , Hafasah bin Salim dll. Ini
berlangsung pada permulaan abad ke 2 H. Kemudian pada awal abad ke 3 H wilayah
Basrah dipimpin oleh Abu Huzail Al-Allah (wafat 235), kemudian Ibrahim bin
Sayyar (211 H) kumudian tokoh Mu`tazilah lainnya.
b. Di
Bagdad (iraq) yang dipimpin dan didirikan oleh Basyir bin Al-Mu`tamar salah
seorang pemimpin Basrah yang dipindah ke Bagdad kemudian mendapat dukungan dari
kawan-kawannya, yaitu Abu Musa Al- Musdar, Ahmad bin Abi Daud dll. Inilah
imam-imam Mu`tazilah di sekitar abad ke 2 dan ke 3 H. Di Basrah dan di Bagdad,
khalifah-khalifah Islam yang terang-terangan menganut dan mendukung aliran ini
adalah:
1. Yazid bin Walid (Khalifah Bani Umayyah yang berkuasa pada tahun 125-126 H)
2. Ma`mun bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 198-218 H)
3. Al- Mu`tashim bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 218-227 H)
4. Al- Watsiq bin Al- Mu`tashim (Khalifah Bani Abbasiah 227-232 H)
1. Yazid bin Walid (Khalifah Bani Umayyah yang berkuasa pada tahun 125-126 H)
2. Ma`mun bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 198-218 H)
3. Al- Mu`tashim bin Harun Ar-Rasyid (Khalifah Bani Abbasiah 218-227 H)
4. Al- Watsiq bin Al- Mu`tashim (Khalifah Bani Abbasiah 227-232 H)
Diantara golongan ulama Mu`tazilah
lainya adalah :
1) Utsman
Al- Jahidz, pengarang kitab Al- Hewan (wafat 255 H)
2) Syarif
Radhi (406 H)
3) Abdul
Jabbar bin Ahmad yang terkenal dengan sebutan Qadhi`ul Qudhat.
4) Syaikh
Zamakhsari pengarang tafsir Al- Kasysyaf (528 )
5) Ibnu
Abil Hadad pengarang kitab Syarah Nahjul Balaghah (655)
Ajaran-ajaran
pokok aliran mu,tazila
Abu Hasan Al- Kayyath berkata dalam
kitabnya Al- Intisar “Tidak ada seorang pun yang berhak mengaku sebagai
penganut Mu`tazilah sebelum ia mengakui Al- Ushul Al- Khamsah ( lima landasan
pokok ) yaitu Tauhid, Al - ‘Adl, Al- Wa`du Wal Wai`id, Al- Manzilah Baina
Manzilatain, dan Al Amr bi Al Ma’ruf wa Al
Nahi an Al Munkar.
1.
At- Tauhid (ke-Esaan)
At-tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan
prinsip utama dan intisari ajaranmu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis
dalam islam memegang doktrin ini.Namun bagi mu’tazilah ,tauhid memiliki arti
yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi
arti kemahaesaannya.Untuk memurnikan keesaan Tuhan, Mu’tazilah menolak
konsep Tuhan memiliki sifat-sifat. Konsep
ini bermula dari founding father aliran ini, yakni Washil bin ‘Atho. Ia
mengingkari bahwa mengetahui, berkuasa, berkehendak, dan hidup adalah termasuk
esensi Allah. Menurutnya, jika sifat-sifat ini diakui sebagai kekal-azali, itu
berarti terdapat “pluralitas yang kekal” dan berarti bahwa kepercayaan kepada
Allah adalah dusta belaka. Namun gagasan Washil ini tidak mudah diterima. Pada
umumnya Mu’taziliyyah mereduksi sifat-sifat Allah menjadi dua, yakni ilmu dan
kuasa, dan menamakan keduanya sebagai sifat-sifat esensial. Selanjutnya mereka
mereduksi lagi kedua sifat dasar ini menjadi satu saja, yakni keesaan.
Doktrin tauhid Mu’tazilah lebih lanjut
menjelaskan bahwa Tuhan dapat dilihat
dengan mata kepala. Juga, keyakinan tidak ada satupun yang dapat
menyamai Tuhan, begitupula sebaliknya, Tuhan tidak serupa dengan makhluk-Nya.
Tegasnya Mu’tazilah menolak antropomorfisme. Penolakan terhadap paham
antropomorfistik bukan semat-mata atas pertimbanagan akal, melainkan memiliki rujukan yang yang sangat kuat di dalam
Al qur’an yang berbunyi (artinya) : “ tidak ada satupun yang menyamainya .” ( Q.S.Assyura : 9 ).
2. Al –
‘Adl (keadilan Tuhan)
Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua
adalah al-adl, yang berarti Tuhan Maha Adil.
Adil ini merupakan sifat yang paling gamblang untuk menunjukkan kesempurnaan,
karena Tuhan Maha sempurna dia pasti adil. Faham
ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang
manusia. Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik dan terbaik.
Begitupula Tuhan itu adil bila tidak melanggar janjinya.
Dengan demikian Tuhan terikat dengan
janjinya. Merekalah golongan yang mensucikan Allah daripada pendapat lawannya
yang mengatakan: bahwa Allah telah mentaqdirkan seseorang itu berbuat maksiat,
lalu mereka di azab Allah, sedang Mu’tazialah berpendapat, bahwa manusia adalah
merdeka dalam segala perbuatan dan bebas bertindak, sebab itu mereka di
azab atas perbuatan dan tindakannya. Inilah yang mereka maksud keadilan itu.
Ajaran tentang keadilan berkaitan
dengan beberapa hal, antara lain :
a. Perbuatan manusia. Manusia menurut
Mu’tazilah melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari
kehendak dan kekuasaan Tuhan. Manusia benar-benar bebas untuk menentukan pilihannya. Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki
yang baik. Konsep ini memiliki konsekuensi logis dengan keadilan
Tuhan, yaitu apapun yang akan diterima manusia di akhirat merupakan
balasan perbuatannya di dunia.
b.
Berbuat baik dan terbaik Maksudnya adalah kewajiaban Tuhan untuk berbuat
baik, bahkan terbaik bagimanusia. Tuhan tidak mungkin jahat atau aniaya karena
itu akan menimbulkan persepsi bahwa Tuhan tidak maha sempurna. Bahakan
menurut Annazam, salah satu tokoh mu’tazilah konsep ini berkaiatan dengan
kebijaksanaaan, kemurahan dan kepengasihan Tuhan.
c.
Mengutus Rasul. Mengutus Rasul kepada manusia merupakan kewajiaban Tuhan karena
alasan berikut ini :
1)
Tuhan
wajib berbuat baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud kecuali dengan mengutus Rasul kepada mereka.
2) Al
qur’an secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk belas kasih kepada manusia
.Cara terbaik untuk maksud tersebut adalah
dengan pengutusan rasul.
3) Tujuan
di ciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepadaNya dengan jalan mengutus rasul.
3.
Al-Wa’ad wa al-Wa’id (Janji dan ancaman)
Ajaran ini berisi
tentang janji dan ancaman. Tuhan yang Maha Adil tidak akan
melanggar janjinya dan perbuatan Tuhan terikat dan di batasi oleh janjinya
sendiri. Ini sesuai dengan prinsip keadilan. Ajaran ketiga ini tidak memberi
peluang bagi Tuhan selain menunaikan janjinya yaitu memberi pahala orang
yang ta’at dan menyiksa orang yang berbuat maksiat, ajaran ini tampaknya
bertujuan mendorong manusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa.
4.
Al-Manzilah bain Al-Manzilatain (tempat diantara kedua tempat)
Inilah ajaran yang mula-mula
menyebabkan lahirnya mazhab mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang
mukmin yang melakukan dosa besar, seperti dalam sejarah, khawarij
menganggap orang tersebut kafir bahkan musyrik, sedangkan murji’ah berpendapat
bahwa orang itu tetap mukmin dan dosanya
sepenuhnya di serahkan kepada Tuhan.
Menurut pandangan
Mu’tazilah orang islam yang mengerjakan dosa besar yang sampai matinya belum
taubat, orang itu di hukumi tidak kafir dan tidak pula mukmin, tetapi diantara keduanya.
Mereka itu dinamakan orangg fasiq, jadi mereka di tempatkan di suatu tempat
diantara keduanya.
5. Al
Amr bi Al Ma’ruf wa Al Nahi an Al Munkar (Menyuruh kebaikan dan
melarang keburukan)
Ajaran ini menekankan keberpihakan
kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimananan
seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik,
diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari
kejahatan. Perbedaan mazhab Mu’tazilah dengan mazhab lain mengenai ajaran
kelima ini terletak pada tata pelaksanaanya. Menurut Mu’tazilah jika memang
diperlukan kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut.
Comments
Post a Comment